BUBARKAN SANGGAR MENGGAMBAR!


Sebuah tulisan menarik yg saya copy dari -  https://mainbasket.wordpress.com

Pada pertandingan penyisihan grup antara Aspac Jakarta melawan Garuda Bandung di ajang turnamen preseason NBL Indonesia beberapa hari yang lalu, gw dikejutkan oleh sebuah inovasi yang menurut gw sangat-sangat dahsyat yang dilakukan oleh NBL Indonesia. Lomba mewarnai di saat pertandingan basket!

Sekumpulan anak-anak usia TK atau SD berkumpul di salah satu sudut tribun GOR Bima Sakti mengikuti lomba mewarnai. Obyek yang diwarnai adalah gambar karikatur dari Mario Wuysang (Garuda) dan Xaverius Prawiro (Aspac). Gw gak bisa membedakan antusiasme anak-anak ini saat berada di dalam GOR. Apakah mereka antusias menyaksikan pertandingan basket NBL untuk pertama kali ataukah asyik menikmati kegiatan mewarnai yang memang menyenangkan. Atau mungkin dua-duanya.
Salah seorang anak saking asyiknya sampai mewarnai/menggambar Mario Wuysang mengenakan jersey Xaverius (Aspac), LOL! :D
Hasil yang seragam :(
Malamnya, teman-teman panitia penyelenggara (DBL Indonesia) mengajak gw untuk memilih siapa saja yang layak untuk menjadi juara. Gw antusias banget karena dulu gw cukup sering menjadi juri lomba menggambar.
Ketika menyaksikan sederetan hasil lomba mewarnai, naluri gundah gulana gw muncul kembali. Mengapa gambar anak-anak ini begitu seragam? Identik, dengan teknik yang sangat serupa (katanya sih teknik krayon karandas). Bukan hanya tekniknya saja, tetapi juga obyek gambarnya. Selain Mario atau Xaverius, peserta lomba (anak-anak) dibebaskan untuk menambahkan bagian yang kosong. Dan hampir semuanya menggambarkan obyek yang sama! (pohon, rumah, awan, pelangi, matahari, dan langit yang berwarna-warni gemerlap!)
Hati gw sedih bercampur marah saat itu…
Menggambar, mewarnai, atau berkarya dalam bentuk apapun, apalagi dalam usia sedini anak-anak peserta lomba tersebut seharusnya menghasilkan karya yang beragam, unik, naif, original, asli, dan (seharusnya) belum terkontaminasi apa-apa. Apa yang gw lihat saat itu sangat bertolak belakang. Karya yang dihasilkan bukannya beragam malah seragam. Bagi gw, karya-karya ini bukan karya sang anak, melainkan karya siapapun di belakang anak-anak ini (guru, pengajar, pembimbing les, siapapun!) yang menganggap bahwa anak-anak ini hanyalah ROBOT bernyawa!
Setelah berdiskusi dengan teman-teman DBL Indonesia yang juga ikut memilih, kita akhirnya memilih enam karya sebagai pemenang.
Kontroversi
Pagi hari saat para pemenang diumumkan, gw mendapat telepon dari seorang teman panitia “Dan, kita butuh lu menghadapi orang tua yang tidak setuju dengan keputusan kita.”
Saat itu gw bilang ok dan gw akan ke sana sekitar jam 12 siang. Gw akhirnya ke GOR jam 2 siang dan benar saja, gw sudah (masih!) ditunggu oleh para “pendemo” yang tidak setuju dengan keputusan gw dalam memilih pemenang.
Dua orang guru/pemilik sanggar menggambar dan seorang orang tua peserta. Gw langsung mendapatkan serombongan pertanyaan yang bernada “mengapa anak itu yang menang? bukan anak ini yang menang?!”
Mulailah perdebatan sengit (yang menurut teman-teman DBL memakan waktu hingga 1 jam!) terjadi. Menjawab pertanyaan sang pemilik sanggar, gw menjawab “kenapa tidak?”
“Anak-anak ini biasanya selalu menang tetapi di sini mereka kalah,” bapak pemilik sanggar membuka argumennya. Saat itu gw langsung berpikir “da#@! mereka bahkan sudah menyiapkan pemenang untuk lomba ini!
Gw menjelaskan panjang lebar mengenai alasan gw mengapa gw memilih para pemenang yang tidak mereka setujui. Intinya ya itu tadi: “beragam, unik, naif, original, asli, dan (seharusnya) belum terkontaminasi apa-apa.”
“Bagi saya, gambar anak-anak ini seperti telah disiapkan jauh-jauh hari sebelum lomba ini diadakan. Tidak ada unsur spontanitas di dalamnya,” gw coba menjelaskan. Jawaban gw langsung disambar “Kita memang berlatih untuk lomba ini. Semua sanggar seperti itu.”
Dang! #barutau gw!
“Kita heran saja, kenapa gambar-gambar yang bagus kalah oleh gambar-gambar yang jelek!” seorang pengajar sanggar masih belum menerima. Sedih rasanya seorang pengajar gambar menganggap gambar beberapa anak yang lain tidak bagus. Pak Tino Sidin would kill this guy!
Saat itu rasanya ingin sekali mengatakan kepadanya “sinetron itu sangat bagus di mata pak Raam Punjabi.”
Pada akhirnya gw berhasil mempertahankan argumen gw di depan para “pemrotes” dan mereka mau menerima pemenang yang gw dan teman-teman panitia putuskan.
Kreatif dan tidak kreatif
Menggambar sering dikatakan sebagai sebuah kegiatan kreatif. Padahal tidak semua orang yang senang menggambar itu kreatif. Ia malah terkadang tak berbeda dengan kegiatan lain yang cenderung monoton yang membuat penggambarnya bak robot.
Membangun atau mencoba menumbuhkan kreatifitas anak melalui sanggar-sanggar menggambar, bagi gw adalah sebuah tindakan yang kontra dengan tujuan menumbuhkan otak kreatif (selama sanggar-sanggar masih seperti itu!). Di dalam sanggar, seorang anak diajarkan teknik menggambar yang sama bahkan ide gambar yang seragam! Gw belum menemukan ada mahzab yang menganggap keseragaman sebagai bagian kreatifitas. Seni grafis yang menghasilkan karya seragam pun mewajibkan sang seniman untuk membatasi karyanya dalam jumlah tertentu (dan dalam keseragaman karya seni grafis, tak jarang muncul keunikan.)
Entah siapa yang memulai sanggar-sanggar menggambar ini. Ia menghasilkan jenis karya anak-anak yang hampir sama di seluruh Indonesia! Sulit membedakan karya si anak A yang ada di Medan dengan karya si anak B yang ada di Surabaya. Gaya menggambar sanggar ini ibarat sebuah neo-gunung dua//matahari di tengah//jalan//sawah//dan beberapa burung walet di udara!!
Kalau sudah begini, gw suka merenung, tak heran lagu-lagu zaman sekarang bernada identik khas melayu, berlirik putus asa putus cinta masal, dan gaya berbusana yang itu-itu saja!
Sebuah cerita singkat ironis miris teriris (wajib baca!!!)
Menjelaskan tentang persiapan sanggar mengikuti lomba gambar. Bapak pengajar gambar menceritakan, pernah pada suatu lomba, ada sanggar yang mempersiapkan anak-anak didiknya berlatih menggambar suasana ring tinju di mana dua orang petinju sedang bertarung. Hal ini ia lakukan karena lomba menggambar yang akan dihadapi memang bertemakan tinju.
Ketika lomba dimulai, tema berganti menjadi suasana bermain sepak bola. Namun, anak-anak didik sanggar tadi tetap menggambar pertandingan tinju :( (mau nangis rasanya gw dengar cerita ini..)
(Caran d’Ache, kartunis satir asal Perancis yang entah bagaimana di Indonesia namanya jadi populer dan terkait erat dengan krayon karandas)
HALAMAN SELANJUTNYA:

2 Responses to "BUBARKAN SANGGAR MENGGAMBAR!"

  1. Sanggar Gambar atau apapun itu adalah wahana berkreasi bagi insan pemula dan peminat seni. Jadi tdk ada korelasi tema dan isi berita ini, jika judulnya provokatif dan terkesan menyerah dengan hasil akhir keputusan juri yg tdk bisa diterima oleh pihak wali murid.

    Tampaknya dlm promo awal lomba terkesan tdk disosialisasikan / tertulis di banner, brosur, broadcase massage : KEPUTUSAN DEWAN JURI TIDAK BISA DIGANGGU GUGAT-SYARAT & KETENTUAN BERLAKU. Mungkin solusi ini yg bisa saya bantu pak TINO SIDIN jika ditanya pawang blogger yg angkat tulisan ini & mengenai tangapan ttg hal ini. ;-)

    Budaya sportif jg seyogyanya diterapkan oleh wali murid yg anaknya diikutkan lomba gambar.

    Anak tdk wajib dituntut utk menang disetiap hal. Karena ! MENANG-KALAH ADALAH NORMATIF & WAJAR, WALAU SECARA KODRATI / MANUSIAWI SELALU MENUNTUT & MENCARI KEMENANGAN. Bukan itu , yaa sekali lagi bukan itu yg dipetik dlm mengikuti lomba apapun. Skema pembelajaran diri, jam terbang, pengakuan komunitas, pembuktian diri, dll adalah unsur yg heterogen yg bisa ditelusuri secara internal dlm diri si Anak.

    Semoga sanggar gambar atau sanggar seni yg lain dan ditempat yg berbeda dapat bergairah dan bersinergi mendukung edukasi Negeri ini,INDONESIA, AAMIIN.

    ReplyDelete
  2. Aamiin, makadih pendapatnya mas Yudhie Susanto

    ReplyDelete

Loading...
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==